Hukum Nikah pakai wali hakim

Urutan kerabat ayah yang berhak menjadi wali nikah, dijelaskan Al-Buhuti berikut:

ويقدم أبو المرأة الحرة في إنكاحها لأنه أكمل نظرا وأشد شفقة ثم وصيه فيه أي في النكاح لقيامه مقامه ثم جدها لأب وإن علا الأقرب فالأقرب لأن له إيلادا وتعصيبا فأشبه الأب ثم ابنها ثم بنوه وإن نزلوا الأقرب فالأقرب<br>

Lebih didahulukan bapak si wanita untuk menikahkannya. Karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling menyayangi putrinya. Setelah itu kakek dari bapak ke atas dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini kakek disamakan dengan bapaknya. Setelah kakek adalah anak laki-laki si wanita jika janda, kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat, setelah itu saudara laki-laki bapaknya (pamannya), dan setelah itu saudara laki-laki satu bapak dengan wanita itu. (Ar-Raudhul Murbi’, hal. 1/100)

Dan tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masih ada kerabat yang lebih dekat. Karena semacam ini sama halnya dengan merampas hak perwalian, sehingga nikahnya tidak sah.

Al-Buhuti mengatakan,

وإن زوج الأبعد أو زوج أجنبي ولو حاكما من غير عذر للأقرب لم يصح النكاح لعدم الولاية من العاقد عليها مع وجود مستحقها

Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA) maka nikahnya tidak sah karena tidak ada perwalian nasab ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/10)