Cahaya Allah

Para mufassir sepakat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan cahaya dari Allah adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi pernyataan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah cahaya, memang berasal dari firman Allah Ta’ala. Tentu saja Cahaya Allah itu bukanlah Muhammad bin Abdullah yang kita ketahui fisik Beliau sama dengan manusia lainnya, namun ruhani Beliau telah disinari oleh cahaya Allah, karena itulah Beliau menjadi utusan Allah. Utusan Allah bermakna yang di utus dengan yang mengutus tidak pernah berjarak.

Tidak mungkin Allah menjadikan manusia sebagai utusan-Nya karena manusia itu baharu,

tidak mungkin membawa energi Maha Dahsyat dari Maha Qadim.

Maka para ahli tauhid menjelaskan ini dengan menyebut sebagai Nur Muhammad, cahaya Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW yang juga telah diberikan kepada Nabi Nabi terdahulu, inilah yang disebut dengan AL WASILAH (al Maidah 35 dan An Nur 35).

Apapun yang keluar dari Baharu tetap menjadi baharu tidak mungkin menjadi Qadim dan segala sesuatu yang keluar dari Qadim akan menjadi Qadim. Itulah sebabnya Allah menyebut Al-Qur’an sebagai cahaya-Nya karena memang berasal dari diri-Nya.

“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS At-Taghabun:8)

Para mufasir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan cahaya di ayat ini adalah Alquran. Al Qur’an yang menjadi cahaya Allah adalah yang turun ke dada Nabi, diterima dengan penuh getaran yang tidak berhuruf dan tidak bersuara yang dikemudian hari dijadikan buku, menjadi sebuah mushaf.